Headlines News :
Home » , , » Kalau bukan kitorang, siapa lagi?

Kalau bukan kitorang, siapa lagi?

Kalau bukan kitorang, siapa lagi?

evaluasi_bintuni.jpgKalau bukan kitorang, siapa lagi? Ucapan tersebut meluncur dari bibir Agnes, saat menceritakan pengalamannya selama menjadi tutor pada program Pemberantasan Buta Huruf dan Pembaca Baru Alkitab (PBH/PBA) di Teluk Bintuni. Anak muda yang bercita-cita menjadi dokter namun untuk sementara belum tercapai karena beberapa kendala. Agnes mempunyai cinta yang besar terhadap Bintuni, sehingga dirinya bertekad melakukan perubahan bagi masyarakat Teluk Bintuni, terutama bagi warga belajar yang belum bisa membaca supaya bisa membaca.

“Saya bersyukur kepada Tuhan bisa mendapat kesempatan untuk terlibat dalam program ini sebagai tutor. Awalnya saya penasaran bagaimana caranya mengajar orang-orang tua yang belum bisa membaca. Namun, saat mulai menjalaninya saya semakin tertantang dan mata saya terbuka bahwa ternyata masih banyak saudara-saudara saya yang tertinggal jauh dalam hal pendidikan. Mungkin saya tidak bisa melakukan hal besar untuk Bintuni namun harapan saya, hal kecil yang saya lakukan saat ini yakni mengajar orang-orang tua membaca itu bisa membawa dampak yang besar bagi Bintuni. Kalau bukan kitorang, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” Ungkap Agnes saat menceritakan pengalamannya menjadi tutor dalam program PBH/PBA.

Harapan Agnes tentu  juga merupakan harapan setiap orang yang peduli dengan pendidikan, begitu pula halnya dengan LAI. Melihat angka buta huruf yang masih tinggi di Indonesia, tentu hal ini menjadi salah satu kendala bagi gereja untuk menyampaikan Firman Allah bagi jemaat. LAI terpanggil untuk memberantas buta huruf khususnya bagi umat Kristiani. Dengan demikian program ini di satu sisi membantu gereja dan pada sisi yang lain turut menyukseskan program pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan.

Program PBH/PBA LAI di kabupaten Teluk Bintuni dimulai pada 22 Februari 2010 saat Bupati Teluk Bintuni yang diwakili oleh Asisten II Bupati, Bapak Daniel Sebaru mengetuk palu pada acara pembukaan program di gedung GKI jemaat Viadolorosa.  Di Bintuni, ada 3 denominasi gereja yang ikut pada program PBH/PBA yakni Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Gereja Katolik dan Gereja Persekutuan Kristen Alkitab Indonesia (GPKAI).

Agar materi pelajaran yang disampaikan bisa maksimal, LAI menyiapkan materi pelajaran berupa buku seri 1-12. Buku seri 1-3 berasal dari belajar_bintuni.jpgDinas Pendidikan berisi materi untuk mengenal huruf dan belajar membaca. Sementara buku seri 4-12 berasal dari LAI berisi bacaan-bacaan Alkitab yang disampaikan secara sederhana untuk latihan dan memahami bacaan. Se-tiap kelompok belajar dipandu tutor yang sebelumnya dibekali dengan pelatihan yang diadakan pada tanggal 15-16 Februari 2010 dan tanggal 25-26 Februari 2010 di 2 lokasi yakni di kampung Atibo dan kampung Barma. Selain tim dari LAI pelatihan melibatkan pihak gereja dan Dinas Pendidikan Kabupaten Teluk Bintuni sebagai narasumber.

Pada awal bulan Maret 2010 secara serentak, kegiatan belajar dimulai di seluruh yang tersebar di tujuh distrik di Teluk Bintuni.Kegiatan belajar dilaksanakan 3 kali dalam seminggu (penentuan hari belajar sesuai kesepakatan tutor dan warga belajar). Setiap pertemuan dilaksanakan minimal selama 2 jam. Kegiatan belajar biasanya dilaksanakan dengan memanfaatkan fasilitas yang ada seperti sekolah, gedung gereja, balai kampung dan juga rumah masyarakat setempat. Usia warga belajar bervariasi antara 10 – 50 tahun.

Untuk pemantauan di lapangan, secara berkala (minimal sekali sebulan), pimpinan program sekaligus pelaksana lapangan, Ratna Harefa, melakukan kunjungan ke masing-masing kelompok belajar. Perkunjungan ini dilakukan untuk melihat dan memantau secara langsung berjalannya kegiatan belajar di masing-masing kelompok sehingga kendala-kendala yang dialami oleh tutor dan juga warga belajar bisa cepat diketahui dan dicari solusinya. Selain itu, saat perkunjungan pelaksana lapangan juga memberikan motivasi kepada warga supaya tetap rajin dan semangat untuk belajar. Begitu pula halnya kepada tutor supaya tetap semangat untuk mengajar.

Banyak tantangan yang harus dihadapi yang cukup menguji kesabaran dan ketekunan. Tujuh Distrik yang merupakan lokasi pelaksanaan kegiatan memiliki keterbatasan akses komunikasi, informasi dan transportasi. Sinyal handphone hanya ada dikota Bintuni. Akibatnya informasi penting yang hendak disampaikan ke kelompok belajar kadang terlambat atau bahkan tidak sampai. Begitu pula halnya dengan fasilitas penerangan (listrik) yang terbatas sering menyulitkan tim pelaksana untuk mengerjakan tugas-tugas sekretariat karena listrik di kota hanya menyala pada malam hari sementara di kampung-kampung aliran listrik dari PLN belum ada. Sarana transportasi juga masih terbatas. Beberapa tempat hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua. Kadang-kadang harus menyeberangi sungai dengan longboat (perahu kayu tanpa semang yang digerakkan oleh mesin motor) dan kadang harus berjalan kaki melewati hutan sekitar 3 jam perjalanan. Perjalanan sering bertambah sulit akibat cuaca yang kadang kurang mendukung. Saat cuaca panas, jalanan sangat berdebu. Namun, ketika hujan turun jalanan licin dan berlumpur.  Ratna Harefa, pimpinan lapangan program ini, beberapa kali jatuh dari motor. Perjalanan bertambah sulit saat kendaraan yang digunakan rusak misalnya ban bocor atau rantai putus. Jika tidak bisa diperbaiki, terpaksa Ratna mendorong motor sampai bertemu mobil untuk sekadar menumpang, karena sepanjang perjalanan tidak ada rumah ataupun bengkel. Di kiri kanan jalan yang ditemui hanya pohon dan semak belukar, dengan binatang liar seperti ular, babi hutan, rusa, biawak, tikus tanah yang kadang-kadang melintas di jalan.

Meskipun tidak mudah, namun tim pelaksana merasakan sukacita tersendiri saat melaksanakan program PBH/PBA khususnya di Kabupaten Teluk Bintuni. Berinteraksi langsung dengan warga belajar dan melihat semangat mereka dalam mengikuti kegiatan belajar ibarat mendapatkan oase di tengah padang pasir. Rasa lelah dalam perjalanan seolah sirna melihat kerinduan mereka untuk bisa membaca. Sambutan hangat dari warga belajar saat tim tiba dilokasi belajar menjadi kenangan manis dalam perjalanan program PBH/PBA di Teluk Bintuni.

Dari 438 orang peserta yang mengikuti evaluasi tahap akhir, hasil pelaksanaan program sebagai berikut: 350 orang (79.9%) telah memiliki kemampuan mengenal huruf hingga memahami bacaan. Sementara 88 orang (20,1%) dinyatakan belum mengenal huruf. Pencapaian ini perlu disyukuri karena dengan demikian program ini telah membantu gereja dan juga pemerintah dalam mengurangi angka buta huruf, khususnya bagi jemaat-jemaat yang ada di Teluk Bintuni. Masih banyak warga jemaat yang belum mengikuti kegiatan ini karena berbagai alasan. Ke depannya diharapkan gereja bisa meneruskan kegiatan ini di masing-masing jemaat sehingga angka buta huruf semakin berkurang dan pertumbuhan iman jemaat bisa semakin kuat melalui pembacaan Firman Tuhan.pertemuan_tutor.jpg
Pada tanggal 30 Oktober 2010, bertempat di gedung Gereja Katolik St. Yohanes Bintuni dilangsungkan ibadah penutupan program. Turut hadir dalam acara tersebut Bapak Harsiatmo Duta Pranowo (Sekum LAI), Bapak Alpha Martyanta (selaku manajer program), seluruh tutor dan korwil, perwakilan warga belajar, perwakilan dari tiga denominasi gereja yang mengikuti program PBH/PBA yakni :GKI di Tanah Papua, Gereja Katolik dan GPKAI, dan beberapa pihak dari instansi pemerintah. Sekum LAI memberikan sambutannya dan sekaligus menutup secara resmi kegiatan PBH/PBA LAI di Kabupaten Teluk Bintuni tersebut. Untuk  warga belajar yang sudah mampu membaca, LAI memberikan buku bacaan lanjutan berupa Alkitab.

Berakhirnya program, memunculkan tanggapan dari berbagai pihak mengenai pelaksanaan program PBH/PBA LAI di Teluk Bintuni. Beberapa di antara kesaksian tersebut dicatat tim pelaksana lapangan program ini. Mama-mama (baca: Ibu-ibu) dari kelompok belajar di kampung Atibo merasa senang dan bersyukur karena setelah mengikuti kegiatan ini mereka bisa mulai membaca Alkitab dan buku nyanyian rohani sehingga mereka pun lebih semangat dalam kegiatan ibadah di gereja. Di samping itu, melalui kegiatan ini mereka juga bisa belajar berhitung sehingga saat berjualan di pasar mereka tidak kesulitan menghitung kembalian uang.

Bapak Yeremias Yerkohok (kepala kampung Jagiro) punya tanggapan lain. Ia yang awalnya belum bisa membaca dan ragu dalam 9 bulan program beliau bisa membaca. Di akhir program beliau sudah lancar membaca dan bersyukur melalui kegiatan ini. Kegiatan ini sangat membantu dan memperlengkapi beliau dalam menjalankan tugas khususnya sebagai salah seorang aparat kampung. Surat-surat yang harus tanda tangani tidak perlu dibacakan oleh orang lain. Dan beliau juga tidak bisa lagi ditipu menyangkut pengurusan hak wilayah.

Pastor Damas dari Gereja Katolik, mengatakan bahwa awalnya beliau ragu program PBH/PBA LAI bisa berjalan di Bintuni mengingat budaya masyarakat Bintuni yang tidak mudah untuk didekati ditambah lagi kondisi perjalanan yang penuh tantangan. Namun pada akhir kegiatan ratna_monitoring.jpgbeliau memberikan apresiasi karena program PBH/PBA LAI bisa selesai pada waktunya dan banyak jemaat yang sudah merasakan hasilnya. Beliau menjadi termotivasi untuk melanjutkan kegiatan ini di jemaat-jemaat.

Pdt. Asyer dan beberapa ketua jemaat lainnya dari GKI di Tanah Papua bersyukur bahwa melalui kegiatan jumlah jemaat yang ikut bernyanyi dan membawa Alkitab dalam kegiatan ibadah di gereja mulai bertambah. Hal ini disebabkan mereka sudah bisa membaca buku Mazmur,  Nyanyian Rohani dan juga Alkitab. Mereka itu adalah warga belajar yang ikut program PBH/PBA.

Kesaksian-kesaksian di atas memberi  gambaran yang jelas kepada kita semua, bahwa program ini memberi banyak manfaat bagi peserta belajar di Kabupaten Tanah Bintuni. Antusiasme warga jemaat untuk mengikuti kegiatan ini sebenarnya sangat besar. Namun, hal ini terkadang kurang dibarengi dukungan dan perhatian dari pihak gereja setempat maupun instansi yang terkait, seperti aparat kampung ataupun distrik. Akibatnya pada pertengahan program banyak warga yang mengundurkan diri karena berbagai alasan. Ke depannya peran serta gereja dan instansi terkait perlu ditingkatkan untuk terus memotivasi dan memberikan pemahaman kepada warga belajar mengenai pentingnya pendidikan.

Sebagai orang percaya kita mempunyai tanggung jawab untuk memberitakan kasih Kristus yang telah kita rasakan agar semua orang bisa turut merasakannya. Karena kesadaran itu, mari bersama-sama berantas buta huruf dan Mari beritakan kabar sukacita! Kalau bukan kitorang, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? (ratna harefa)
Share this post :